Tampilkan postingan dengan label Fiksi Mini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiksi Mini. Tampilkan semua postingan

Komedi Cinta: Bunga Di Tepi Ranjang


Sebuah Komedi Cinta, Bunga Di Tepi Ranjang

Jadi selain pernah sakit karena jatuh dari pohon kenari, saya juga pernah merasakan sakit karena jatuh cinta. Peristiwanya terjadi tadi sekitar tiga menit yang lalu dan hingga sekarang entah kenapa sulit sekali untuk dilupakan.

Saya ditolak cewek itulah intinya. Sebut saja namanya Bunga. Itu hanya nama samaran, kayak korban-korban pelecehan di koran. Sebab kalau saya tulis nama aslinya Kinyandri Agnesia begitu, saya takut kena pasal pencemaran nama baik.



Dia baru sebulan pulang kampung sehabis lulus kedokteran di New Yogyakarta. Kebetulan kami tinggal sekampung. Dulu saya dan dia juga sekolah di SMA yang sama. Dia cerdas menurut saya. Saya juga cerdas, juga menurut saya.

Kami kerap mengharumkan nama sekolah. Dia sering memenangi cerdas cermat, lomba pidato, kejuaraan bulu tangkis, turnamen karambol dan juga pernah menjadi paskibra tingkat kecamatan Kampar Kiri. Sementara saya, mengharumkan nama sekolah dengan cara yang berbeda, yaitu nyemprotin parfum ke papan nama sekolah. Haha!

Setelah tamat SMA, Bunga melanjutkan pendidikan ke Indonesia mengambil jurusan kedokteran, sementara saya tetap di Pekanbaru kuliah ambil jurusan sastra mesin.

Bunga memang cantik, sehingga tidak malu-maluin kalau cuma buat digandeng ke mall apalagi ke kondangan sunatan. Kulitnya putih, rambutnya hitam, lubang hidungnya dua. Body-nya juga bagus seperti gitar-gitar dari negara-nya David De Gea, kiper PSPS. Udah begitu punya bokap yang tajir masuk daftar 547 orang terkaya sekampung. Sawahnya luas sapinya banyak mobilnya delapan istrinya dua. Bayangin deh!

Begitu Bunga sudah balik dari Jogja, cowok-cowok kampung langsung sibuk merenovasi diri buat modal mendekati Bunga. Pun saya, walau dengan modal yang tak seberapa pantas untuk dibanggakan, tetap tidak mau kalah. Maju terus pantang malu. Jaman penjajahan aja, para pahlawan cuma bermodal bambu yang diruncingin, tidak gentar melawan kompeni yang pake bedil. Itu yang menginspirasi saya.

Singkat cerita, setelah kemarin-kemarin pedekate alakadarnya, tadi saya langsung nembak Bunga. Simpel aja. Tidak pake pistol, tidak dengan cincin atau seiket kembang, tidak didahului pembacaan puisi, dan juga tidak disiarin langsung di tipi. Lokasinya pun amat sangat simpel: di sebelah kandang sapi! Bukan di restoran mewah bercahayakan lilin kecil apalagi di kapal pesiar.

"Bunga, IPK kamu berapa. Kok pinter banget bikin aku kangen," saya memulai pembukaan acara katakan cinta.

Bunga cuma tersenyum. Sambil mengelap keringat di wajah dan lehernya pake serbet wajan.

"Gemesin banget deh leher jenjang kamu, Bunga. Mau ga kusembelih?"

Bunga sedikit mendelik. "Ihh apaan sih! Ya enggaklah!"

"Disembelih ga mau. Mm... Tapi kalau jadi pacarku mau kan?"

Peluru sudah ditembakan. Target tampak melongo dongo. Dalam hati saya berdoa semoga peluru cinta saya tadi tidak salah sasaran mengenai sapi.

"Aku cinta sama kamu, Bung..

Peluru kedua. Untuk sesaat Bunga tampak terhenyak. Mulutnya bergerak-gerak seperti mau ngomong sesuatu tapi sulit untuk diungkapkan. Mungkin dia syok, seumur hidupnya tidak pernah menyangka bakal ditembak oleh lelaki terganteng di seantero desa ini.

"Ka... Kamu serius?" Tanya Bunga dengan suara terbatu-bata.

"Serius..."

"Serius banget apa serius aja?"

"Serius banget!"

"Serius banget nget nget nget?!"

"Iya Bunga. Banget parah sumpah!"

Bunga manggut-manggut. "Baiklah. Kalau emang bener-bener serius. Emm... kita ke kamar yuk? Kamar aku."

"Hah! Ngapain?!"

"Aku mau tunjukin sesuatu, ihihihi...

Tanpa permisi Bunga langsung meraih tangan saya dengan mesra. Owh... Indahnya dunia. Rumput-rumput seakan menjadi bunga. Kandang sapi bagaikan istana.

Bunga mengandeng tangan saya, dibawanya pergi menjauh dari istana eh kandang sapi, menuju rumahnya.

"Kita langsung ke atas ya? Kamarku di lantai 3," kata Bunga tersenyum sedikit genit. 

"Beneran ke kamar nih?" tanya saya deg-degan. Saya merasa sebentar lagi keperjakaan saya bakal terenggut.

Bunga tersenyum dan terus menggandeng saya naik. Sampai di lantai 3, Bunga membukakan pintu kamarnya untuk saya. Kreekk..

"Silahkan masuk... " kata Bunga dengan senyum manisnya. Kemudian Bunga duduk di tepi ranjang.

Suer! Saya masih belum sepenuhnya percaya bisa berduaan sama Bunga, di kamarnya yang wangi, dengan ranjang yang bagus bersih dan pasti empuk itu. Saya cubit-cubitin pipinya Bunga. Dia merasakan kesakitan. Berarti ini bukan mimpi?!! Ini kenyataan yang harus saya terima!

"Emm... Udah di kamar nih, trus..." kata saya malu-malu kucing garong, makin deg-degan. Dalam benak udah tergambar adegan aril luna maya.

"Zuk, coba kamu ke lemari itu deh bentar..."

"Emang ada apa?" tanya saya sedikit bingung.

"Pokoknya ke sana. Bentar aja."

"Baiklah..." jawab saya sambil OTW menuju lemari.

Bunga tersenyum.

"Udah di depan lemari nih. Aku harus gimana?" tanya saya.

Bunga menarik napas dalam-dalam. "Jadi gini, di lemari itu kan ada cerminnya ya kan? Nah, seharusnya sebelum nembak gue, lo tuh bercermin dulu!! Lo tuh siapa?! Ngaca woey! NGACA!!" *banting beha*

???

******

Lagi-lagi Kamu Marah



Lagi-lagi kamu marah. Dan lagi-lagi akulah yang salah. Iya memang aku, aku yang beberapa hari ini lebih bahagia atas sejuta pageviews di blogku, dari pada kamu yang memiliki sejuta cinta untukku.

Maafkan aku, Sayang. Benar-benar minta maaf. Tolong sudahi hukuman ini. Sampai kapan kamu cuekin aku. Aku sudah tidak kuat. Mendingan aku kamu omel-omelin kayak biasanya, dari pada didiemin tidak jelas seperti ini.

Nokia E63-ku saja sudah nyaingin kuburan sepinya. Tidak ada SMS-SMS darimu. Bahkan sampai sekarang aku belum makan, kamu belum SMS ngingetin. Tadi sebelum nulis ini, ada sebuah SMS masuk, aku girang lompat-lompat kupikir itu dari kamu, nyatanya SMS penipuan mama minta pulsa!

Aku kesal banget tau nggak sih, Sayang? Huft!

Tapi lucu juga, mana mungkin calon Mama mertua kamu bisa kehabisan pulsa, orang setiap beliau ke pasar belinya pulsa kiloan. Hahaha!

Oke ini serius bertanya, Sayang. Pernah tidak kamu mencoba pipis berdiri? Pernah? Kalau belum cukup kamu bayangin saja, bagaimana hasilnya kalau cewek pipis berdiri, pasti berantakan bukan?

Begitulah aku jika tanpa kamu. Berantakan!

Tadi di kantor. "Kenapa hari ini kamu berantakan Zuk?"

Ada teman yang bertanya begitu.

"Iya. Sepertinya gue butuh malaikat untuk segera menatanya kembali."

Kujawab aja begitu. Dan tau tidak, Sayang, 'malaikat' yang kumaksud itu kamu. Cuma kamu. Tanpa kamu, rasanya hidupku seperti lupa memakai celana dalam. Gelisah dan tidak nyaman!

Kumohon sudahan ya marahnya. Ingat kata para ahli kesehatan: Orang yang suka marah itu bakalan cepet tua! Kamu tidak mau kan tua lebih cepat? Kita kan sudah janji akan menua bersama-sama.

Baiklah. Sayangnya aku, Ratu hatiku, meskipun kamu kelihatannya offline, tapi aku yakin kamu pasti baca tulisan ini. Kamu pasti blogwalking ke sini. Oh iya lupa, kamu kan cewek, jadinya bukan blogwalking, tapi blogwakqueen. Ehehe.

Dibaca sampai habis ya. Habis itu tolong cek inbox. Barusan aku kirim email, menawarkan kerja sama menikmati senja, besok sore di tempat biasa.


Senja Yang Indah

Syahdunya Pagi Pertama

Halo halo. Kembali lagi saya memposting sebuah fiksi kecil-kecilan sebagai bahan bacaan untuk pengunjung setia blog bagus ini, hehe. Selamat menikmati. Dan jangan lupa bagikan ke teman-teman sosial media teman-teman semua. Gratis!

Pagi Pertama

Alarm ponsel berdering nyaring, cukup lama sehingga memaksa tidurku terjaga. Mataku perlahan-lahan terbuka, berat rasanya. Tapi hanya sebentar, karena kemudian mataku langsung segar saat melihat wajah tenang wanita di sebelahku. Dia masih nyenyak dan tak terganggu sedikitpun dengan bunyi alarm tadi.

Tadi malam adalah malam pertama, dan pagi ini adalah pagi pertama aku dan dia resmi hidup berumah tangga. Aku tersenyum berdebar menikmati wajahnya yang pulas. Dia terlihat lelah, resepsi pernikahan yang meskipun digelar sederhana, tapi cukup menguras energi. Ditambah tadi malam kami tidur sudah sangat lewat dini hari. Sebenarnya aku tidak tega untuk membangunkannya.



"Sayang..." aku berbisik dekat telinganya, lebih tepatnya di sebelah pipinya. Kuusap pipi itu lembut dan hati-hati. "Bangun, Sayang. Sebentar lagi waktunya Shubuhan. Aku butuh kamu jadi makmumku, biar sholat kita berpahala 27 derajat.."

Dia menggeliat manja, membuka mata, sesaat dia tampak terkesiap melihatku seperti melihat orang asing.

Pasti kaget dan aneh, malam-malam sebelumnya tidur sendiri, sekarang begitu bangun tau-tau ada yang menemani.

"Mas udah dari tadi bangunnya?" katanya sedikit malu-malu, ketika sudah menyadari posisinya.

"Belum juga, paling baru lima menitan.."

"Tau ga sih Mas, aku merasa semua ini masih seperti mimpi.." katanya sumringah tak terlukiskan, sambil merubah arah baringnya kepadaku, sehingga aku dan dia berhadap-hadapan.

Aku merapikankan poninya yang acak-acakan. "Istriku baru bangun saja sudah cantik gini, gimana nanti kalau sudah mandi ya?"

"Masih pagi, Mas!" dia mencubit pinggangku. "Udah gombal aja.."

Aku nyengir. "Percaya tisak Sayang, kalau setiap manusia itu diciptakan dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan?"

"Emm... Masa sih Mas?"

"Iya. Misalnya kamu, diciptakan untuk selalu kupuja dan untuk setiap hari kupuji..

Dia tersipu. "Ohyeah? Trus Masnya?"

"Oh... Kalau aku tercipta untuk mencintaimu. Dan bisa kan mengizinkan aku untuk terus begitu?"

"Prett dah!" dia mengambil bantal dan dipukulkan pelan ke aku.

Aku terlentang, dengan tangan menutupi muka melindungi dari pukulannya.

"Emang kalau tidak ngegombal sejam aja badannya gatel-gatel gitu ya Mas? Dasar ih!" aku dipukul pake bantal lagi.

"Hehe.. Terserah kamu mau menyebut itu gombal. Tapi sebenarnya aku hanya berusaha merangkai kata, kata yang pas biar kamu senang mendengarnya...

"Oh yeah?"

"Ohyeah oyeah melulu! Sini deh Sayang.." aku menepuk-nepuk dada, mempersilahkan dia berbaring di sana.

Aku membelai-belai rambutnya. Sebentar-sebentar saling memandang. Tak cuma itu, kami merayakan pagi dengan pelukan, dengan kecupan.

"Kita akan selamanya begini kan Mas? Bukan hanya saat ini ketika kita masih pengantin baru?" bisiknya bertanya.

"Tentu, kita akan sama-sama saling menjaga dan saling mempertahankan.." jawabku singkat. "Eh udah yuk mandi, bentar lagi adzan shubuh..

"Mandiin..." dia menjawab manja.

Aku bangkit. Mengambil dua handuk. Satu aku pakai sendiri, satunya lagi kukalungkan di lehernya.

"Iya deh aku mandiin, trus ntar sekalian aku sholatin ya? Hehe.." cibirku sambil lari ke kamar mandi, berharap dia akan segera mengejar.

Tapi ternyata dia hanya berjalan pelan, malah kemudian cuma berdiri mematung.

"Kenapa, Sayang?"

"Entahlah Mas, tiba-tiba aku merasa kuatir, membayangkan semakin banyaknya rumah tangga gagal di sekitar kita?"

Aku menghela nafas, lalu mendekatinya. Kudorong pelan hingga bersandar di dinding. Kutatap matanya dalam-dalam, dia tertunduk diam. Dan sebuah kecupan ringan kuhadiahkan di keningnya.

"Kamu hanya melihat mereka yang gagal, Sayang. Kamu tidak melihat mereka yang berhasil, jumlah mereka lebih banyak.."

Dia termenung.

"Lihat saja Ayah Ibuku, mereka sudah 30 tahun bersama mengarungi rumah tangga yang bahagia. Dan mereka akan terus bersama, menyaksikan kita membesarkan cucu-cucu mereka...

"Mas janji akan seperti mereka?"

"Apakah masih kurang sakral janjiku kemarin di depan penghulu? Aku sudah divonis menjagamu Sayang, dari hati hingga mati...."

Dia nyengir tidak penting. "Eheheh..

"Ah kamu..." rambutnya kuacak-acak, dan dengan gemas kuangkat tubuhnya kemudian kulempar ke kasur.

*****


Cerita Lainnya: Senja Pantai Kasih

Cerpen Komedi Zuck dan Linn: Cerita Di Kala Hujan




Cerita ini sebenarnya sudah pernah aku tulis secara bersambung via status facebook di tahun 2012. Tapi dari pada mengendap dan tenggelam di dasar facebook, aku posting ulang di sini. Dan kayaknya nggak lama lagi juga bakal dicopas sama blogger yang ngakunya comic stand up, tapi isi blog-nya banyakan nyolong dari blog ini. Yang nama-nama Zuck Linn diganti entah apa gitu, huda nia entah kuda nil gitu lupa gue.


Cerita yang tak seberapa ini juga pernah dibukukan dalam sebuah kumpulan cerpen. Tapi bukan aku yang membukukan. Ada yang minta izin, kubilang silahkan saja yang penting nama penulisnya dicantumkan. Itu aja. Aku nggak minta imbalan, nggak minta royalti, bahkan sekedar meminta bukunya juga enggak. Cuma dikirimin foto covernya doang.



Cerita Hujan

"Sayang kamu di mana?" suara Linn lewat telepon suatu malam sehabis magrib.

"Di rumah," gue jawab singkat.

"Jujur banget gitu sih jawabnya. Nggak asik, nggak romantis! Di hatimu gitu dong, Mas."

Apaan sih ini? Jujur malah disalahin. Apa memang begini semua cewek, lebih suka digombali dari pada enggak? "Iya Sayang. Aku di dalam hatimu, udah nggak bisa keluar nggak ada pintunya?"

"Keluarin di dalam aja, hehe."

"Ada apa nelepon?"

"Ke rumahku dong Mas sekarang. Bete nih sendiri.." katanya, renyah dan manja.

"Duh masa sekarang sih?" gue keberatan, soalnya malam ini gue mau nonton bola. Lagipula baru malam kemarin gue ngapelin dia. Dahsyat benar daya ngangenin gue?!

"Kenapa? Nggak mau ya? Nggak sayang sama aku? Cuma suruh datang aja susah. Yaudah kalau nggak mau!"

"Eh, eh bukan gitu," jawab gue buru-buru sebelum dia membanting hape-nya ke kasur. "Lihat dong di luar mendung..."

"Kenapa nggak disuruh masuk?!" suara Linn terdengar ketus. Ngambek.

"Plis deh, Beb. Mendungnya hitam banget, bentar lagi pasti hujan."

"Alasan! Namanya juga udah malam, yaiyalah mendungnya hitam. Lagian mendung bukan berarti hujan! Mana nih yang katanya demi aku badai kan dilalui, lautan disebrangi walaupun banyak hiu-nya. Gombal! Sama mendung aja jiper, sem....

"Yaudah aku datang!!!"

*****

Benar saja, dalam perjalanan hujan turun begitu deras. Gue basah kuyup dari ujung rambut sampai ujung kuku kaki. Kedinginan. Untung begitu nyampe tujuan, gue disambut senyum Linn yang begitu menghangatkan hingga ke relung-relung jiwa.

"Basah semua mas?" tanya Linn nggak penting banget.

"Yagitudeh."

"Kehujanan?"

"Enggak. Keringetan!" jawab gue sedapatnya.

"Tapi aku tetep cinta."

"Di tengah jalan tadi aku udah kena hujan tau nggak sih?!"

"Udah tau di tengah jalan kehujanan, kenapa nggak lewat pinggir? Udah gede kok nggak pinter-pinter.."

Gue diem. Punya pacar super cerdas emang harus rajin mengalah. Kalau nggak bakal panjang urusannya.

"Masuk deh, Mas. Kepasan di rumah lagi nggak ada orang. Papa and Mama pulang kampung menghadiri pesta ultah tahun nenek..."

"Serius sendirian?"

"Iya. Makanya aku butuh kehadiranmu..."

Hasek! Senyum nggak senonoh gue langsung tersungging di bibir gue. Kayaknya kepala gue juga mulai numbuh tanduk, kuping berubah jadi lancip serta gigi taring mulai memanjang. Grrr!

"Di rumah cuma aku sama Pak Boing...

Tanduk gue spontan protol. "Lhah katanya nggak ada orang? Pak Boing kan juga orang? Kamu pikir di setan?!"

"Iya sih Mas, tapi aku tetap butuh kamu. Pak Boing cuma penjaga kebun, sementara kamu penjaga hatiku, eeaa...

Gue mimisan 16 giga!

"Baju kamu basah semua. Ganti sama pakaianku ya, Mas?"

"Apaan sih?!" masa gue pake lingeria.

"Nggak apa-apa. Kan biar berasa dipeluk aku."

"Males. Pake punya orang tuamu aja, Beb," usul gue, secara Linn emang nggak punya sodara cowok kan. Dia anak tunggal dari empat bersaudara.

Dua menit kemudian. "Ini, Mas."

"Ini apa-apaan?!" mata gue melotot melihat gaun panjang putih mirip kostumnya kuntilanak yang diajukan Linn.

"Katanya mau pake punya orang tuaku? Ini punya mamaku.."

"Bunuh aku sekalian, beb! Bunuh!"

Muahaha. Linn ngakak. Dasar beha berhala! Suka banget kalau ngerjain gue. Akhirnya, yang gue pilih adalah celana kain dan kemeja batik punya ayah Linn, trus iseng-iseng gue tambahin aksesoris peci hitam dan kacamata minus. Hmm unyu-unyu... Mirip pak lurah mau ngecengin janda desa seberang pengkolan! Batin gue sambil ngaca.

"Keren Mas! Mirip bupati Garut! Hahaha.." Linn ngakakin penampilan gue.

"Ganteng berwibawa ya?"

"Bukaaan!"

"Trus?"

"Tua! Hahaha.."

"Jadi diundang ke sini buat dihina-hina terus gini?"

"Hahaha. Yaudah, aku buatin kopi susu ya, Mas?" tawar Linn kemudian.

Gue setuju saja. Cocok banget suasana dingin-dingin begini. Tapi sayangnya, sudah tujuh menit kopi susu tak kunjung tiba. Ilmu dapur Linn memang tidak meyakinkan. Gue kuatir jangan-jangan air yang direbusnya gosong. Atau jangan-jangan susunya harus meres dulu makanya lama? Ah entahlah..

27 menit kemudian.

"Ini, Mas..."

Sambil senyum malu-malu menggemaskan Linn menyuguhkan kopi buatannya, kemudian duduk di samping gue. Pokoknya udah mirip istri yang baik dan benar gitulah.

Selanjutnya sambil minum kopi segelas berdua, gue dan dia nonton TV. Gue pengen nonton derby manchester, dia maunya nonton derby romero. Nggak ada yang mau ngalah, saling pelotot-pelototan, tatap-tatapan, lama-lama akhirnya adu bibir eh, adu mulut, debat maksudnya!

"Lhoh? Tuan udah pulang?"

Suara seseorang tiba-tiba menghentikan perdebatan. Ternyata bener omongan orang, kalau lagi berdua-duaan sebenarnya ada pihak ketiga: setan! Iya benar itu setannya datang.

"Pak Boing? Ada apa, Pak?" Linn pasang tampang tak mengerti.

"Kamar saya bocor, Neng," lapor pak Boing.

"Mau ngambil ember buat nampung air bocorannya."

"Oh nanti tolong ditambal ya, Pak."

Pak Boing mengangguk.

"Ini Mas Zuck ya? Kirain tadi Tuan, bajunya mirip.." Pak Bo'ing menatap gue agak sinis, sepertinya dia nggak begitu suka gue ada di sini. Biarpun gue sering ke rumah Linn, tapi belum pernah kenalan sama Pak Boing.

"Iya, Pak."

"Rumahnya di sukajadi kan?"

Weh Pak Boing ternyata tau banyak tentang gue. Fans gelap nih jangan-jangan.

"Iya.."

"Yang rumahnya ada jendelanya itu kan?"

Gue melongo sebentar. "Iya, iya. Kok tau sih? Apa lagi yang Bapak tau tentang aku?"

"Kamu jelek!" tegas Boing sambil berlalu.

Linn ngakak. Kampret bosnia! Ngocol juga si Boing ini. Seperginya pak Boing, gue dan Linn kembali nonton tv, sambil menikmati kopi segelas berdua.

Linn emang baik dan pengertian, gue kedinginan dibikinin kopi, kamar Boing bocor dikasih charm bodi fit anti kerut anti bocor, bahkan AC yang kedinginanpun dia selimutin.

Lama-lama bukan TV yang kami tonton, justru tv-lah yang nonton kami, yang tengah asyik ketawa ketiwi ngobrolin hal-hal ringan, kayak: kapas, asap, awan, balon dan sejenisnya. Juga ngobrolin tentang si Manchester biru musuh bebuyutannya MU. Lalu beralih bahas tenda biru pernikahan, tentang indahnya laut biru, luasnya langit biru dan semakin nggak menentu bahas film biru segala. Lah.

Dan malampun semakin larut, seiring hujan yang mulai surut.

"Bentar-bentar liatin dinding, ada apa sih?"

"Liat jam, Sayang. Secara jamnya di dinding. Coba di kening, pasti aku liatnya ke wajahmu terus." jelas gue sekenanya.

"Hehe..."

"Haha hehe mulu sih. Tapi ngomong-ngomong, udah jam 11 nih, aku harus segera mengundurkan diri..

"Pulang maksudnya?!" suara Linn meninggi. Kelihatan banget kalau dia nggak rela.

"Iya pulang. Harus cepet tidur. Soalnya aku besok pagi-pagi banget harus terbit dari ufuk timur..."

"Weekk..." Linn ngeleletin lidah bikin gue gregetan, pengen rasanya gue gigit pake catutan kuku!

"Aku pulang, ya?" gue minta izin sekali lagi.

"Kalau pulang siapa yang nemenin aku? Mas tidur sini aja ya?" pinta Linn.

Nah ini yang gue takutin, sekaligus gue harepin juga. Nginep di rumah Linn, di saat keluarganya nggak ada gini, hem.. Sesuatu. Sisi sholeh gue berkata jangan, ntar terjadi hal-hal yang diinginkan. Sementara dari kubu setan mendukung abis, katanya kan seru nanti bisa main dokter-dokteran sama Linn. Cotlah!

"Pliss dong nginep di sini aja..." sambung Linn dengan wajah memohon, mirip kotak amal yang ngarep banget disedekahin ciuman.

"Tapi tidurnya di kamar kamu ya? Hehe..." gue iseng ngasih persyaratan.

"Iya boleh..

"Hahaha serius..." gue langsung ketawa mesum.

"Serius! Tapi aku tidur di kamar tamu..."

"Ha! Muehehek.." berubah ketawa asem!

"Selalu deh, dikit-dikit mesum, dikit-dikit mesum. Mesum kok dikit-dikit...

Muahahaha. Gue ngakak sampai ganteng.

"Dengar ya Mas, aku biarpun kalau ngomong suka ngaco tapi punya harga diri yang jelas!"

"Berapa? Biasanya akhir taun gini banyak diskonan, ehehe..

"Murah sih sebenarnya, cuma seperangkat alat sholat aja dibayar tunai. Sanggup? Kapan?"

Jleb! Gue terdiam seribu bahasa binatang, seakan terkutuk jadi patung pancoran.

"Gimana? Jadi kan nginep di sini?"

Gue noleh. Menatap Linn. Dia juga menatap gue sayu. Argh... Gue paling nggak kuat kalau udah ditatap model begitu. Bawaannya pengen mati aja di pelukannya.

"Aku nggak bisa, beb. Sorri.." tolak gue pelan, agak keberatan sebenarnya.

Tapi itu adalah keputusan penting. Gue begitu menyayangi Linn, gue harus menjaganya sampai nanti. Gue nggak ingin merenggut sesuatu yang belum waktunya. Itu tekad gue dari dulu. Andai gue nekad bermalam di sini, disuguhi kemolekan Linn, di rumah yang sepi, didukung cuaca yang begitu dingin, bisa-bisa prinsip gue teringkari malam ini. Makanya gue takut nginep!

"Kenapa nggak bisa?!"

Pertanyaan yang udah gue duga. Dan gue udah mempersiapkan jawabannya: "Besok kan aku harus masuk kerja ke kantor, itu juga demi membawamu ke kantor urusan agama suatu hari nanti..

Linn buang muka. Pengen senyum tapi ditahan. Lucu jadinya. Gue ngeliatnya jadi ketawa. Ngelihat gue ngakak, diapun ikut ngakak juga. Akhirnya gue dan dia tertawa bersamaan. Beberapa saat kemudian tawa kami selesai. Saling diam. Lalu saling pandang. Melihat wajah masing-masing. Tiba-tiba ngakak bareng lagi. Hahaha.. Gila!

"Yaudah sekarang aku balik dulu..."

"Ih kok beneran pulang sih?"

Lhah tadi udah ketawa-ketawi, kirain udah ga masalah gue nggak nginep.

"Aku mau Mas tetap di sini, setidaknya sampai besok pagi."

"Aku bukan nggak mau, tapi aku takut...

"Takut apa? Emang wajahku menakutkan? Kamu udah nggak kayak dulu lagi, Mas. Jangan-jangan tanpa sepengetahuanku kamu terjun ke dunia politik! Iya kan? Ngaku!" cerocos Linn.

Gue gelagapan. "Maksudmu aku ikutan caleg gitu? Nggak sempat Beb, mikirin kamu aja udah pusing tujuh trenggiling, apalagi mikirin rakyat! Kalau nyari alasan yang masuk akal dong..."

"Udahlah Mas. Buktinya sekarang kamu memang berubah?! Nggak kayak Zuck waktu pertama jadian. Pasti kamu ikut partai Nasdem! Gerakan perubahan! Yekan?!"

Duh wanitaku ini, kalau sudah punya keinginan, gigih bener memperjuangkannya.

"Aku takut nanti terjadi hal-hal yang nggak diingikan, Sayang..

"Owh gitu? Jadi kamu lebih takut terjadi hal-hal yang nggak diinginkan dari pada takut kehilanganku?! Yaudah pulang sana, nggak usah pikirin aku lagi, biarin saja kalau nanti aku diperkosa Boing!" Linn cemberut berat.

"Yowis aku nginep di sini! Ngeinep, nginep! Puas!"

******

Singkat cerita -sebenarnya nggak singkat kalau penulisnya nggak males nulis- gue akhirnya tidur di rumah Linn. Tapi jangan berprasangka baik gue tidur nenenin, ups, nemenin dia sekamar.

Gue di kamar tidur tamu, Linn di kamarnya sendiri.

Di luar hujan kembali menderas. Malam semakin dingin. Gue gelisah. Gue baca doa sebelum bobo. Pengen cepet-cepet tidur. Tapi dasar setan emang nggak pernah nyerah, udah gue doa-doain masih aja menggoda hati gue yang suci ini. Gue paksa memejam mata, tapi semakin gue merem, bayangan body Linn makin menari-nari.

Argh! Gue bangun! Ngaca sebentar. Setelah itu melangkah perlahan ke luar menuju kamar Linn. Lalu dengan gaya sopir truk di warung remang-remang pinggir jalan, gue ngetuk pintu kamarnya: "Neng, bukain dong pintunya, Abang sudah nggak tahan nih...

Astaghfirullah! Gue istighfar tiga kali! Untung itu tadi cuma ada di khayalan. Dada gue berdebar. Paha gue juga bergetar! Ini karena nada getar hape yang ada di saku celana gue. Ada yang nelpon. Linn!

"Halo Mas. Maaf ganggu bentar.." suara Linn.

"Nggak apa-apa kok. Aku belum tidur?"

"Kenapa?"

"Nggak tau. Dari tadi udah usaha tidur tapi nggak bisa-bisa."

"Payah Mas-nya. Masa nidurin diri sendiri aja nggak bisa, gimana nanti nidurin aku. Hahaha..."

"Nggak sopan!"

"Ha ha ha..."

"Kamu sendiri kenapa belum tidur?"

"Sama sih Mas, nggak bisa tidur juga...

"Sini, sini aku tidurin..

"Gak sopan Mas!"

"Haha Oh iya lupa."

Hening sebentar.

"Emm, Mas..." Linn ragu-ragu mau ngomong.

"Ada apa?"

"Mas tidurnya ditemenin boleh ya?"

"Apah?!" gue terkesiap, henpon nyaris terlepas dari genggaman.

"Aku ke kamarnya Mas sekarang.."

Belum sempat gue jawab, telepon diputus begitu saja. Wah ini gokil! Harus gimana gue? Mempersilahkan Linn tidur di sini jelas bisa memancing kerusuhan, sementara melarangnya juga bukan keputusan yang bijaksana. Menolak rezeki itu tidak baik katanya. Binun! Dilema! Bagai makan buah simalakama mentah!

"Mas. Buka pintunya..."

Linn sudah datang! Oke tenang, tenang. Katanya lelaki harus bisa mengambil keputusan di saat genting seperti ini. Ya sudahlah, mungkin ini sudah takdir gue harus melakukan dosa terindah.

Gue buka pintu. Terlihat wajah Linn yang tersenyum malu-malu mirip coro ketiban kulkas.

"Emm.. Bisa kan Mas ranjangnya untuk berdua?"

"Bisa, bisa.." jawab gue kesetanan.

"Muat kan?

"Muat dong. Percayalah, selalu tersedia ruang kosong, di hati juga tempat tidurku untuk kamu tempati.."

Tiba-tiba Pak Boing muncul! Apaan sih ih?! Kayaknya dia sengaja mata-matain gue deh, munculnya selalu di waktu yang tepat?

Linn menatap gue, seperti biasa ngasih senyuman, nggak pernah ngasih duit. Dan dia berkata: "Tadi Pak Boing SMS, katanya kamarnya makin parah bocornya. Kasihan kan Mas? Yaudah aku suruh aja tidur di kamar tamu, sekalian nemenin kamu, Mas. Muat kan?"

Njier!

*****

Cerita Lucu: Malam Pertama Pengantin Salah Gaul



Malam ini merupakan malam pertama pasangan pengantin baru Zuck dan Linn. Setelah 14 tahun saling mengenal, dan atas desakan masyarakat luas, akhirnya mereka mau menikah juga juga. Acara ijab kabul yang dihelat selepas Isya, baru saja selesai beberapa menit yang lalu.


Pengantin Lucu

Cerita Seru Lainnya: Cerpen Lucu Kencan Kacau

Dan sekarang mereka berdua sudah berada di dalam kamar pengantin yang remang-remang, dan semerbak wangi oleh aroma baigon yang barusan disemprotkan Linn untuk mengusir nyamuk. Sementara di luar kamar, terdengar sayup-sayup gending campur sari, dipadu dengan raungan-raungan sepeda motor yang memekakkan kuping. Memang dalam acara pernikahan malam itu, untuk menghibur tamu undangan, keluarga Linn nanggap campur sari Ndoro Bei dan juga nanggap Road Race alias balapan motor. Seru.

Dan Zuck dan Linn, walaupun sudah sering bersama, tapi karena ini adalah untuk pertama kalinya mereka ditempatkan dalam satu kamar, masih terlihat jelas kegrogian dalam diri keduanya. Maka untuk membunuh ketegangan Zuck pura-pura sibuk menggambar sesuatu di kertas, sementara Linn sok menikmati madu sasetan yang sedang dikecap-kecap di mulutnya. Begitulah cara mereka berbulan madu. Zuck menggambar bulan, sedangkan Linn menghisap madu.

"Aku masih nggak percaya, Sayang, tadi Ayah Ibuku mau dateng menghadiri resepsi pernikahan kita," Zuck buka obrolan.

"Iya, Mas. Padahal dulu waktu Ayah Ibunya Mas menikah, kita nggak datang ya?"

"Ehem..." Zuck manggut-manggut dan mengulum senyum.

Linn juga tersenyum. Ia sendiri juga masih belum begitu percaya, sekarang ada orang selain dirinya yang bebas berada di kamarnya, apalagi orang tersebut bergender laki-laki. Mengingat dulu orang tuanya bisa dibilang sangat ketat mengawasi pergaulan Linn dengan laki-laki.

Linn selalu teringat bagaimana nasehat Mamanya dulu ketika ia menginjak usia remaja.

"Kamu tuh cantik, Linn. Dan orang cantik tuh bahaya laten. Rawan digoda laki-laki! Kalau nanti ada bujangan memacarimu, kamu jangan pernah mau ditiduri dia. Jangan pernah!"

"Ditiduri bujangan nggak boleh, berarti kalau ditiduri lelaki yang sudah beristri boleh dong, Mam?"

"Bodoh! Jangan bikin malu keluarga! Awas ya, kalau kamu mau-mau saja digoda suami orang, apalagi kalau sampai tidur sama laki-laki yang sudah beristri, Mamih coret kamu dari daftar warisan keluarga! Catat itu!"

"Iya, Mamih, iya," jawab Linn mengangguk patuh, dan ia pun mencatat nasehat Maminya itu di dalam otak.

"Jaga kesucianmu untuk kehormatan keluargamu. Jadi wanita itu jangan goblok. Jaman edan sekarang ini banyak lelaki buaya yang pintar ngerayu supaya bisa meniduri wanita..."

Sejak itu Linn hati-hati banget dalam pergaulan. Demi tidak ingin dicoret dari daftar warisan keluarga, ia benar-benar menjaga kesuciannya. Bahkan terkadang, Linn sampai mengerahkan tentara untuk menjaga keperawanannya.

"Mmm.. Sayang, kita belah duren yuk," ajak Zuck tersenyum kikuk, memecahkan lamunan Linn.

"Hayuk, Mas," jawab Linn pelan tapi penuh gairah.

Lalu Linn buru-buru keluar kamar. Mau ke kamar mandi mungkin, membersihkan apaaa gitu, pikir Zuck. Selang setengah menit kemudian, Linn sudah kembali ke kamar menenteng dua buah duren dan sebilah golok. "Nih, Mas..."

"Bukan duren gituan! Huh!" Zuck langsung merengut tampan.

"Lah trus duren yang kayak gimana?"

"Duren Afrika Tenggara! Yang warnanya hitam," jawab Zuck sekenanya. Keki banget dia soalnya.

Linn tampak sedikit kecewa. Tapi yasudah, akhirnya ia menyimpan buah duren dan golok tadi ke dalam lemari pakaian. Setelah itu melihat arloji di tangannya.

"Alhamdulillah ya, Mas, nggak kerasa kita sudah 15 menit menjadi suami istri," kata Linn sambil tersenyum begitu manis.

"Iya, yah, Sayang, gak nyangka banget sumpah. Perasaan baru tadi deh aku mengucapkan ijab kabul," jawab Zuck sambil tersenyum sejuta kali lebih manis. Kekesalannya langsung hilang melihat senyum istrinya yang sangat tidak pahit itu.

Kemudian Zuck bergerak mendekati Linn yang masih berada di sekitar lemari. Setibanya di depan Linn, untuk sekian detik ditatapnya wajah istrinya itu dalam-dalam dan penuh perasaan, lalu pelan-pelan mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Linn. Linn berusaha mundur mau-mau tapi malu, tapi Zuck terus memburu, tapi Linn juga terus berusaha mundur hingga punggungnya menyentuh dinding kamar.

Melihat Linn sudah tidak punya ruang lagi untuk mundur, pelan-pelan Zuck mendorong badan Linn dipepetin ke tembok. Dan perlahan tapi pasti wajahnya mulai mendekati wajah Linn. Linn akhirnya hanya bisa memejam pasrah, menanti dengan jantung berdebar sekaligus tak sabar.

Tapi, sebelum terjadi hal-hal yang diinginkan, tiba-tiba tangan Linn memblok wajah Zuck yang sudah hampir mendekati sasaran.

"Nggak mau! Jangan!" tolak Linn, kemudian buru-buru enyah dari hadapan Zuck dan duduk di tepi ranjang.

Zuck merasa terampas dari langit tinggi ke dasar sumur. "Kenapa?!"

"Mas jangan godain aku kayak gitulah. Aku hampir saja terpedaya tau," jelas Linn dengan tampang murung.

"Kok gitu? Kita kan sudah menikah?"

"Makanya itu. Aku ingat nasehat Mama, supaya jangan mau digoda sama suami orang!" serobot Linn.

Zuck menepuk jidat! "Ya Allah. Aku kan suami kamu, Sayang. Bukan suami orang?"

"Tapi kan aku juga orang, Mas!"

"Bukan, Sayang. Kamu bidadari, bidadari di langit hatiku. Ayo kita bobo..." Zuck coba memberi pengertian, lalu duduk di samping Linn. Tapi Linn langsung beringsut menjauh ke pojok ranjang.

"Nggak usah nggombal-nggombal lagi. Pokoknya kita bobo-nya jangan deket-deket. Aku tidur di lantai, Mas tidur di genteng. Jadi sekarang tolong Mas keluar dari kamar Linn..."

"Apah?!! Ini termasuk KDRT loh, Sayang. Kamu bisa kena pasal!"

"Bodo amat sama pasal. Aku harus nurut kata Mamih, jangan pernah mau ditiduri sama pria yang sudah beristri. Nanti aku dicoret dari daftar warisan..."

"Tapi kan istriku itu kamu, Sayaaaaang? Kamu! Aku boleh tidur sama kamu..."

Linn melotot ke arah Zuck, lalu geleng-geleng kepala. "Ternyata benar kata Mamih dulu. Lelaki memang pinter ngerayu biar bisa meniduri wanitanya. Tapi aku bukan wanita goblok, Mas...

"Kamu nggak goblok. Kamu malah kebangetan pinternya. Ayo sini, Sayang, kita bikin cucu buat Mamih..." bujuk Zuck sambil menepuk-nepuk kasur.

"Udah nggak ngerayu-ngerayu lagi. Cepat keluar, Mas. Kalau nggak, aku bunuh diri nih terjun dari ranjang!" ancam Linn mulai berdiri di pinggir ranjang bersiap-siap melompat.

"Oke, oke. Oke! Aku keluar nih. Tapi jangan melakukan tindakan konyol seperti itu, Sayang," seru Zuck mulai ketakutan melihat belahan jiwanya mau membunuh dirinya sendiri.

Kemudian Zuck segera keluar kamar dengan perasaan tak karuan.

"Kenapa kehidupan rumah tangga hambaMu ini harus begini banget ya, Tuhan? Kenapaa?" tanya Zuck sambil menangis di bawah jemuran basah.

*****

CERITA LENGKAPNYA SILAKAN BACA => (Novel Komedi Romantis 'Zuck & Linn')

Wanita Itu...


Derap langkah kaki pria itu serasa memecahkan keheningan di lorong Mall lantai 3, terlihat dari sepatunya bak tentara yang berukuran 42. Langkah kakinya semakin dipercepat dan dipercepat. Namun, perlahan-lahan hentaman sepatunya di atas lantai itu berkurang kecepatannya, dan akhirnya terhenti di pertigaan lorong.


Sejenak dia merasakan jantungnya berdebar dan perasaannya tidak enak. Dia mengingat kembali ketika memasuki mall ini. Pikirannya kacau... Saat ini, dia mulai gelisah dan bingung. Dari pertigaan sekarang, kemana dia harus berbelok, ke kiri atau ke kanan. Sampai pada akhirnya dia mencoba mengikuti batinnya dan memilih ke arah kanan, dan dia cukup lega karena pilihannya itu tidak salah.

Tiba-tiba... Dari belakang dirasakannya ada sesuatu yang mengikutinya sedari tadi. Dengan sigap dia memutar badannya dan dia melihat sesosok wanita yang berdiri dengan short dress warna putih, rambutnya terurai panjang dan wajahnya pucat pasi, memandang tajam ke arah pria itu yang saat ini sudah berdiri tidak jauh di depannya.

"Mengapa kau pergi begitu saja dalam keadaanku yang seperti itu?" kata wanita itu dengan muka yang masih menunjukkan pucat pasi.

Pria itu hanya diam, dan tak tahu harus berbuat apa, karena saat ini pikirannya sendiri sedang kalut.

"Dan sekarang kamu tega membiarkan aku seperti ini, Radit!" lanjut wanita itu, dengan kedua bola matanya terlihat berkaca-kaca.

Selangkah dua langkah wanita itu lalu mendekat. Pria yang telah diketahui namanya Radit itu, hanya berdiri di hadapannya dengan kondisi masih dalam diam. Namun terlihat kedua tangannya sudah mengepal erat, sedikit gugup dan dahinya mulai bercucuran keringat dingin.

Kemudian... Radit mulai mengangkat suaranya, namun dengan nada tersengal. "Mengapa kamu menahanku? Mengapa kamu sampai menghampiriku ke sini?"

"Apa kamu sudah nggak sayang aku lagi, Radit?" tanya balik wanita itu dengan tatapan tajam.

Radit sudah tidak tahan lagi dengan semua ini. Dia melangkahkan kakinya ke depan. Dirogohnya saku celananya, lalu ia keluarkan benda berbahan kulit berwarna cokelat muda.

Radit kemudian mengulurkan sebuah kartu ke tangan wanita itu, dan berkata, "Bukannya aku nggak sayang sama kamu, tapi aku tadi buru-buru banget. Jadi maaf udah ninggalin kamu di depan toko sepatu. Bukannya juga aku gak mau beliin kamu sepatu. Tapi tolonglah berikan aku waktu masuk ke dalam. Aku sudah kebelet dari tadi. Kenapa sih kamu nggak peka Sinta sayaaang..." jelas radit panjang lebar, kemudian mencubit kedua pipi pacarnya gemas.

"Iiya tahu, tapi aku dari tadi juga laper nih," jawab Sinta dengan mengusap air mata di pipinya, yang dari tadi sudah melunturkan celak, airliner, serta maskaranya.

Setelah itu Radit langsung memasuki toilet yang ada tidak jauh darinya. Sementara Sinta berlalu pergi menuju kafe dan toko sepatu yang terletak di lantai 1, dengan membawa ATM Radit.

Pengirim : Nova Feri Andani
Editor      : Zuki Rama

Cerita Malam Jum'at


Cerita Malam Jum'at

Sebuah cerita pendek tapi lucu tentang kehidupan Zuck dan Linn pasca pernikahan. Semoga teman-teman pembaca setia blog ini bisa terhibur, bisa tertawa terbahak-bahak, atau paling tidak bisa senyum-senyum sendiri. Jangan lupa tutup pintu dan jendela, karena kalau ke-gap orang lain sedang senyum-senyum sendiri, akibatnya kita bisa dikira tidak sehat. Kalau sudah yakin aman, selamat membaca.


*******

Ruang tamu sebuah rumah kecil yang sederhana. Malam itu malam jum'at, yang bertepatan dengan peringatan 40 hari menikahnya mereka. Linn terlihat sedang menyetrika pakaian, sementara Zuck yang melipat kemudian menyusunnya ke dalam lemari.

Begitulah mereka sehari-harinya, berusaha kompak di setiap kesempatan dan kegiatan. Kalau Linn belanja ke pasar, Zuck yang bertugas membawa barang belanjaan. Saat masak, Linn yang mengulek bumbu, Zuck yang bagian mengirisi sayuran atau marut kelapa. Pun ketika makan, Linn yang mengunyah, Zuck yang menelan.

"Ternyata semua tetek bengek rumah tangga, kalau dilakukan bersama-sama terasa ringan dan menyenangkan ya, Mas?"

"Yaiyalah, Sayang," jawab Zuck sambil mengulum senyum. "Tapi menurutku kamu jangan terlalu sibuk deh, Sayang..."

"Lho memangnya kenapa?"

"Nanti kamunya capek. Aku saja males mikirin tetek bengek rumah tangga, mending mikirin tetek kam...

"Heh!" Linn mendelik. Menodongkan setrikaan panas.

Zuck tertawa tanpa suara. "Udah deh, yuk. Nyetrikanya dilanjutin bulan depan aja. Capek..."

"Tinggal dikit lagi lho ini, Mas."

"Mangkanya jangan dihabisin. Udah tau tinggal dikit. Pengiritan, Sayang, pengiritan..." Zuck mencabut colokan setrika. Lalu menarik tangan Linn, dibawanya duduk di sofa.

"Apaan sih ih?" Linn akhirnya hanya pasrah saja menuruti kemauan Zuck.

"Pinjam handphonenya bentar dong, Sayang. Mau update status facebook: 'Mau bobo sama istri', hihihii..."

Tanpa menunggu persetujuan, Zuck langsung mengambil ponsel Linn yang tergeletak tak berdaya di lantai, kemudian segera log in akun Facebooknya. Tapi ternyata tidak bisa. Dicobanya sekali lagi, tapi sekali lagi masih juga tidak bisa.

"Susah banget, Beb, masuknya...

"Coba diludahin, Mas," usul Linn sambil mengedip genit.

"Cuih!" Zuck meludahi ponsel Linn.

"Ya Alloh, hapekuu! Hapekuu!" Linn meratapi handphonenya. Diraihnya bantal sofa, dilemparkan ke arah Zuck.

"Muahaha!" Zuck menghindar.

Sambil terus tertawa ia berlari ke kamar dan berharap Linn akan mengejar. Tapi apa, sudah hampir 10 menit ternyata Linn belum juga menyusul.

"Sayang..." Zuck memanggil istrinya.

Tak ada sahutan. Tetap hening.

"Ayang Linn..." Zuck mencoba memanggil lagi, tapi tetap tidak ada tanggapan.

Zuck yang penasaran akhirnya keluar kamar. Dicarinya Linn di seantero ruang tamu, dapur, kamar mandi, di kolong dingklik, di atas genteng, dalam tong sampah, tapi Linn tidak ada.

"Sayang, kamu dimana? Tadi tuh ngeludahnya nggak beneran tauk. Cuma suara doang. Duh, kamu ini. Ayo dong keluar. Gak lucu tau udah suami istri gini masih main petak umpet?" seru Zuck sambil mengubek-ubek isi tong sampah mencari keberadaan istrinya.

Tapi tetap hening.

"Okay, kuhitung sampai tiga nih, kalau masih nggak mau keluar juga, kuhitung sampai seribu!" Zuck akhirnya mengeluarkan ancaman serius.

"1, 2, 3, 4, 5...." Zuck mulai menghitung.

Linn yang bersembunyi di belakang lemari ngikik dalam hati. Hihihi. Rasain!

"993, 994, 995, 996, 997...." Zuck mulai lelah mengitung, tapi Linn belum juga mau menampakkan diri.

Zuck tidak kehabisan akal. Dengan gesit dia mematikan seluruh lampu. Seisi rumah tiba-tiba gelap gulita. Dan taktik itu cukup berhasil.

"Maass!" Linn berteriak ketakutan.

"Muaahaha.." Zuck buru-buru kembali menyalakan lampu. Terlihat Linn berdiri merengut di sudut ruangan. Sambil tersenyum, Zuck melangkah menghampiri istrinya itu.

"Jahat banget..." Linn merajuk manis dan manja group.

"Jahat kenapa sih?"

"Masih nanya lagi. Gelap tau nggak sih Mas. Mana malam jum'at.."

Kedua tangan Zuck memegang kepala Linn. Ditatapnya dalam-dalam. "Seperti itu juga rasanya kalau kamu jauh dariku, Sayang. Gelap..."

"Gombal!" Linn buang muka.

"Duarius, Sayang, hahaha..." goda Zuck mengacak-ngacak rambut Linn.

Linn tergadah, menatap wajah Zuck yang 7 centi lebih tinggi dari dirinya. Disentuhnya wajah itu penuh perasaan. Zuck mendorong tubuh Linn, dipepetkannya ke dinding. Pelan tapi pasti wajahnya mendekati wajah Linn. Tangan kiri memegang kepala belakang Linn, sementara tangan kanan sudah mirip lagunya Ayu Ting Ting, kemana kemana kemana.

"Kok rambutnya kamu jadi enggak lurus gini sih, Sayang?"

"Aduh, Mas. Kayaknya kamu salah pegang rambut deh ah. Rambut ketek atau rambut apa?" rintih Linn.

"Ah sudahlah..." Zuck sebodo amat dan meneruskan kegiatannya.

Linn menggeliat.

"Kenyal..." Zuck berbisik lembut.

Linn merangkul erat. "Kurawat Mas, biar Mas-nya sayang terus sama Linn...

"Oh yah?"

"Iyah. Kan pribahasa bilang 'tak kenyal maka tak sayang'?"

"Hsshahh.."

Sekian!

*****

Cerita Lainnya: Syahdunua Pagi Pertama


Cerita Romantis Senja Pantai Kasih

Pulang kerja aku menjemputnya ke tempatnya berkerja. Meski berbeda bidang pekerjaan, sabtu akhir pekan seperti ini kami kerap pulang bersama. Tidak langsung pulang, kami biasanya singgah di pantai Kasih dan baru pulang ke rumah setengah jam sebelum magrib.


Nama sebenarnya bukan pantai Kasih, tapi karena kami merasa dunia ini sudah milik berdua, kami sering sesukanya jika menamai suatu tempat yang kami sukai.

Tak banyak yang dilakukan di sana. Hanya duduk menanti senja, makan kuaci, minum es kelapa muda. Dia bercerita tentang hari-harinya, aku mendengarnya sesekali ikut bercerita. Lalu jika senja tiba, kami akan melepas alas kaki, menggulung celana, lalu berjalan menyusuri bibir pantai.

"Nanti malam kita kemana ya? Biasanya malam minggu nonton bola, tapi Liga-liga belum mulai...

Dia diam, malah asyik bermain-main dengan ombak. Mengejar ombak yang menjauh, ketika ombak kembali datang, gantian dia yang dikejar. Dia akan lari sambil tertawa keras dan lepas. Aku tersenyum sendiri melihat tingkahnya itu.

"Kamu bukan ABG lagi, Mas?" katanya sedikit ngos-ngosan.

"Trus kenapa? Persoalan?"

"Sudah bukan waktunya lagi sibuk mikirin tujuan malam minggu. Pikirin tuh tujuan hidup. Pikirin juga masa depanmu.."

Aku tersenyum, menatap matanya yang menatapku. Mata yang indah. Begitu indah malah. Sampai sulit aku menilai mana yang lebih indah, antara matanya dia atau matahari senja di kaki langit sebelah barat sana.

Kalau itu setiap hari, Sayang. Setiap hari aku memikirkan masa depanku..."

"Jangan cuma dipikirin, tapi juga harus dikejar!" suaranya sedikit tegas, sambil tangannya sibuk menyingkirkan beberapa helai rambutnya yang tergerai menutupi wajah karena tertiup angin pantai.

Aku membantunya, menyingkirkan rambut dari wajahnya. Rambutnya yang lurus hitam bagus dan lembut itu memang mudah dikibarkan angin.

"Ngapain juga masa depan dikejar..." jawabku kemudian.

"Kok ngapain?" dia melotot sedikit tidak terima.

"Lhah ngapain dikejar?" kataku agak berbisik. Bola matanya kutatap dalam-dalam. "Masa depanku kan sudah ada di depanku sekarang..."

"Gombaaaallll!" serunya sambil berusaha meninju lenganku. Aku lari menghindar. Dia mengejar. Aku berhenti. Menunggunya.

"Dasar kuman karpet..." katanya cemberut setelah berhasil menyusulku. Lenganku kembali ditinjunya pelan. Tapi kali ini aku pasrah saja.

"Kalau bener aku masa depannya Mas, buktiin dong!" cibirnya.
"Boleh. Caranya?"

Dia tampak memikirkan sesuatu. Lalu memandangku tajam. "Lamar aku!"

"Hah?!" aku tercekat dan langsung terdiam.

"Kita bersama sudah dari 2013, 2014 dan sekarang 2015. Lalu sampai duaribu berapa lagi kita akan gini-gini terus?!"

Aku semakin terdiam.

"Emangnya Mas nggak malu sama keong racun?" dia bertanya.

"Malu kenapa? Kenal aja enggak!"

"Gini deh, Mas. Tak kasih tau ya. Keong racun itu, baru kenal udah ngajak tidur. Nah Mas-nya, udah 3 tahun kenal, ngelamar aja ga berani!"

Jleb! Rasanya kayak terhempas dan nyungsep ke dalam pasir! Dalem banget ini. Dalem! Seorang Zuki yang keren keparat ini ternyata derajatnya masih di bawah keong racun!

"Diem aja sih, Mas?"

"Baiklah, aku akan lamar kamu..." kataku tanpa pikir panjang.

Dia kembali menatapku, kali ini dengan sorot lembut dan cukup lama. Aku tau, dia sedang mencari keseriusan atas pernyataanku barusan.

Aku berpaling. Tidak kuat walau untuk sedetik lagi. Tatapan seperti itu selalu meluluhkan hatiku setiap dia meminta sesuatu. Dan sepertinya dia sudah hapal dengan kelemahanku satu ini.

"Udahlah, Sayang, biasa aja natapnya. Ini serius, aku akan melamarmu...

"Kapan?" tanyanya semangat.

"Sore ini juga! Ayo pulang. Kita temuin orang tuamu..." kuraih tangannya untuk kugandeng pulang.

"Hah?! Sore ini juga."

"Yo'i..."

Gantian dia yang terkejut dan terdiam. Ehmm.

*****

Cerita Lainnya: Pada Sebuah Maghrib

Pada Sebuah Maghrib


Halo!

Kembali lagi sebuah Fiksi Mini hadir menemui teman-teman pengunjung setia blog ini. Tentu saja masih dengan tokoh Zuck dan Linn, bukan yang lain. Selamat membaca.

******

Sore semakin habis. Malam mulai menjelang. Zuck dan istrinya sedang menonton TV acara Adzan magrib untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.

"Mas Zuck, Linn mau nanya dong."

"Nanya apa?"

"Teks adzan kalau di layar TV kan Ashadu Anlailahaillah gitu, ya kan Mas ya? Tapi kok pelafalannya jadi Ashadu Alailahailallah gitu sih? Beda..."

Zuck terdiam cukup lama. Lalu nyengir ringan, "Hehe...

"Nggak tahu, ya? Katanya lulusan Aliyah..."

"Bukan nggak tahu, Sayang. Cuma sedang mengingat-ingat. Prakteknya sih tau. Tapi menjelaskan teori-nya yang agak susah. Bentar, bentar..." Zuck mengetuk-ngetukkan jari ke dengkul, berusaha mengoptimalkan otaknya mengingat ilmu-ilmu agama yang pernah dipelajarinya.

"Gayamu, Mas, Mas," ledek Linn.

"Aku ingat!" Seru Zuck menghadap istrinya.

"Apa?"

"Itu karena idghom bilagunnah. Iya idghom bilagunnah. Idghom bilagunnah itu ada dua huruf, 'lam' dan 'ro'. Dua huruf tersebut akan menghilangkan bunyi huruf 'n' jika bertemu nun mati, atau semua huruf yang dibaca 'an', 'in', 'un' tanwin," jelas Zuck penuh percaya diri.

"Beneran gitu?" kata Linn dengan tatapan takjub dan sedikit tidak percaya.

"Iya. Contohnya di lafadz adzan tadi, di kalimah syahadat juga. Bunyi huruf 'nun' melebur menjadi huruf 'lam'. Peraturan Idghom bilagunnah adalah 1 harokat pada saat peleburan..."

Linn mesem. "Pinter ya?"

"Ganteng juga...

Linn memencengin bibir. "Jadi pengen muntah-muntah gini sih, Mas? Padahal belum hamil...

"Hahaha... Dasar!" Zuck mendekap geram Linn.

Linn meronta. "Jangan kenceng-kenceng gini kenapa sih meluknya. Istrinya kamu jadi ga bisa napas nih. Uff...

"Tapi aku berharap, hubungan kita bisa seperti idghom bilagunnah itu, Sayang," bisik Zuck kemudian, perlahan-lahan dan penuh perasaan.

"Maksudnya apa, Mas?" Linn memandang ga ngerti.

Zuck balas memandang Linn. "Idghom Bilagunnah itu selamanya cuma ada lam dan ro'. Begitupun hubungan kita selamanya, cuma aku dan kamu...

"Aduh, Mas..." rintih Linn, mendusel-dusel di dada Zuck.

"Udah ah. Ga usah lebay. Kita magriban dulu ya?"

"Tapi kan baru wilayah Jakarta, untuk wilayah rumah tangga Zuck Linn belum?"

"Ya kita siap-siap dulu, Sayang. Sholat itu lebih keren kalo dikerjakan tepat waktu," Zuck berdiri. Siap-siap ke kamar mandi untuk berwudhu.

Linn merentangkan tangan. "Gendong...

"Ya Allah. Manja banget sih?" Zuck geleng-geleng.

Linn bales menggeleng-geleng. "Manja sama suami sendiri masa tidak boleh? Cuma minta gendong ke kamar mandi ini, bukan minta gendong kemana-mana kayak mbah Surip. Pelit banget..."

"Yaudah, yaudah. Dasar kamu..." Zuck akhirnya ngalah walau rada-rada jengkel.

"Muahaha..." Linn ngakak melihat tampang suaminya yang merengut ikhlas ga ikhlas.

Sampai di kamar mandi, Linn berwudhu duluan. Kemudia menengadahkan tangan membaca doa selesai berwudhu. Zuck hanya memandangi penuh kagum dan bangga. Wajah istrinya, ketika basah air wudhu begitu, kecantikannya meningkat 15%. Subhanallah. Juga jadi terlihat lebih muda 10 detik.

"Bangga punya istri kamu, Sayang," goda Zuck sambil meraba wajah Linn.

"Hah! Kan Linn jadi batal lagi? Sengaja nih pasti. Aaa... Mas jahat!" Linn ngamuk-ngamuk manja. Kakinya menghentak-hentak jalan di tempat gak beraturan.

"Duh, iya, iya. Maap, Sayang, maap. Cepetan wudhu lagi gih."

"Enggak! Mas aja yang wudhu duluan..."

"Enggak mau. Pasti kamunya nanti mau bales dendam batalin aku kan? Iya kan? Hahaha. Kebaca...

"Iih... Dasar Masnya mau menang sendiri. Dasar! Dasar!" Linn mencripati Zuck dengan air bertubi-tubi.

Zuck ga terima. Sambil tertawa ia bales mencripati Linn. Akhirnya mereka saling ciprat-cipratan ga penting hingga pakaian keduanya basah. Dan terlanjur basah, yasudah mandi bareng sekalian.

Dan setelah mandi dengan durasi yang tidak wajar, adzan magrib mulai bersahut-sahutan dari masjid-masjid di sekitar kediaman mereka. Linn segera mengenakan mukenanya. Zuck menggelar sajadah, satu untuk dirinya, satu istrinya. Lalu tersenyum memandang Linn yang telah lengkap berbusana sholat.

Linn tersipu. "Udah ah, Mas. Ntar ndak khusuk lho kita sholatnya?"

Zuck mengucap istighfar dalam hati.


Masjid Agung An-nur Pekanbaru, Riau

******

Notes:

Bagi yang menganggap bahwa bersentuhan kulit antara suami dan istri itu tidak membatalkan wudhu nggak usah ngeributin cerita ini. Sebab banyak muslim-muslim lain, mengganggap bersentuhan kulit suami istri itu membatalkan wudhu. Terima kasih. ^^

Cerita lainnya: Suatu Ketika Pada Berbuka Puasa

Suatu Ketika Pada Berbuka Puasa

"Bangun, Mas..." Linn mengguncang-guncang tubuh Zuck.

Zuck membuka mata. Diliriknya jam di dinding, masih seperti kemarin, jam 03.40. Ia segera bangkit dari tempat tidur, mengambil handuk dan bersiap ke kamar mandi. Tapi dilihatnya Linn justru tertidur kembali.

"Duh ini gimana. Kok malah tidur lagi?" Zuck geleng-geleng tak mengerti. "Bangun, Sayang. Sahur."

Linn menggeliat manja. "Linn kan nungguin dibangunin sama Mas."

"Lah bukannya tadi udah bangun duluan?"

"Hooaammm..." Linn menguap lebar. Kelelawar berterbangan dari dalamnya. Aroma naga memenuhi seantero kamar. Zuck membekap mulut dan hidungnya.

Linn bangkit dari tidurnya. Duduk ditepi ranjang. "Tadi aku bangunin Mas supaya Mas bangunin aku. Kan biasanya Mas yang bangunin aku. Yee.. Pura-pura lupa nih..."

"Jiah... Mending kita bertengkar aja yuk. Nggak usah sahur!"

"Kan? Dikit dikit ngambek. Gak dewasa. Berubah dong, Mas. Temen-temennya Mas aja udah pada berubah...

"Kok jadi banding-bandingin gitu?!" penggal Zuck dengan wajah bete.

Linn tertunduk. "Tapi emang bener kok. Jabon aja sekarang udah berubah jadi alim. Sudrun juga udah jadi anggota dewan. Nah Mas..." Linn mengangkat wajah, menatap sendu suaminya. "Dari dulu ga pernah berubah, selalu aja ganteng..."

"Hih! Pagi-pagi..." Zuck mengacak-acak rambut Linn. "Sebenarnya aku juga heran sih, Mbal. Biasanya, bayi-bayi itu kalau lahir langsung nangis ya kan, Beb, kan? Lhah aku kata Ibuku, begitu dilahirkan langsung ganteng masa?" jelas Zuck sambil menganggkat bahu.

Linn meletin lidah ke arah Zuck. Zuck ngakak berderai. Pagi yang dingin. Namun tetap hangat.

*******



Sorenya. Selepas sholat ashar.

"Kita ndak usah masak ya, Mas. Tadi temen SD aku nelpon, ngundang kita buka bersama di restoran Karomah?" kata Linn sambil menyisir rambutnya di depan meja rias.

"Ga usah aja deh, Sayang. Ga penting juga," jawab Zuck singkat.

"Kenapa? Sekalian silaturrahmi lho, Mas."

"Silaturrahminya ntar aja pas lebaran."

Linn diam dengan muka menyungut. Ia terlihat kecewa atas keputusan Zuck. Sisir diletakannya dengan gerakan serampangan.

Zuck mendekati Linn. Dipeluk istrinya itu dari belakang. Terseyum geli melihat wajah istrinya yang merengut di cermin.

"Merengut aja tetep manis. Gak takut, kalau ikut buka bersama nanti dimakan sama mereka? Haha..."

Nggak ngaruh. Linn tetap cemberut di tempatnya. Zuck melepas pelukannya. Diambilnya sisir yang tadi dipakai Linn, kemudian rambut istrinya disisirin hati-hati.

"Aku memang kurang suka acara-acara seperti itu. Sering gara-gara mengutamakan hal yang nggak penting, hal yang penting justu terabaikan. Pernah lho Sayang, aku buka puasa bareng di sebuah restoran gitu, iuarannya mahal, menunya enak-enak, pelayannya cantik, makan sekenyangnya, habis makan masih ngemil, sambil asik ngobrol-ngobrol, hingga tau-tau udah adzan isya! Jadinya sholat magrib terabaikan. Percuma kan puasa kalau seperti itu? Jadi ga usah aja ya, Beb," jelas Zuck. "Selain itu aku juga nggak punya duit."

Linn tersenyum kesal. "Dasar. Ngomong nggak punya duit aja pake muter-muter."

"Mendingan sekarang kita masak aja gimana? Masak nasi aja. Kan sayur sahurnya masih ada, tinggal dipanasin."

"Dibantuin kan, Mas?"

"Yaiyalah. Sayang bagian nyuci beras, dibilas sampai bersih, trus masukin ke mejikom. Aku bagian nyolokin listriknya."

Linn melirik tajam. "Ntar abis buka puasa berantem ya. Catet!"

"Haha, yaudah. Sayang masak nasi, aku goreng telur. Telur mata sapi spesial buat dirimu. Mau?"

"Hehe.. Mau banget, Mas. Kalau bisa telur mata sapinya yang tatapannya lembut kayak tatapanku gini. Trus nggak juling."

Zuck garuk-garuk rambut. Kepalanya tiba-tiba serasa banyak ketombenya. "Kayaknya berantem beneran deh nanti ini."

"Haha. Yaudah, aku rikues telur mata hati saja, Mas."

"Oke sip. Kalau sambil ditemani Sayang gini, goreng telurnya nanti berbentuk hati."

Acara masak memasak nasipun berlangsung lama dan gak manusiawi. Kebanyakan becandanya sih. Sampai-sampai sayur sisa sahur yang belum diangetin, panas sendiri menyaksikan kemesraan mereka.

Dan tanpa terasa bedug buka puasa telah berbunyi.

"Alhamdulillah sudah waktunya berbuka. Diawali dengan yang manis-manis dulu ya, Mas," ucap Linn seraya menuangkan es sirup dan disodorkan segelas untuk suaminya.

"Bukan gitu, Sayang. Yang benar tuh diawali dengan Bismillah dulu."

"Terserah Masnya aja deh. Cape ngomong sama tutup limun!"

Zuck menengadahkan kedua tangan, membaca do'a berbuka puasa. Sementara Linn meng-Aamiin-kan perlahan.

Dan berdoa selesai. Tapi Zuck tak menghiraukan es sirup di hadapannya. Ia malah menatap Linn, wajah istrinya itu dipandanginya dengan lembut dan cukup lama.

"Apaan sih ih. Norak," ucap Linn menahan senyum.

Zuck tertawa kecil. Kemudian meraih gelas sirup dihadapannya dan diteguknya hingga setengah. Baginya, semanis-manisnya sirup buka puasa, tak akan bisa menandingi manisnya wajah Linn. Pret!

Cerita Lucu Romantis: Ketika Zuck Linn Putus

Cerita lucu Sejoli Salah Gaul Zuck dan Linn seperti ini dulunya lumayan sering aku tulis di facebook. Tapi entah sekarang-sekarang ini facebook semakin tidak asyik, suka menghilangkan postingan-postingan para penggunanya. Jangankan postingan lama, status bulan-bulan yang lalu aja banyak yang sudah tidak terdeteksi di wall. Agak kesel juga sih, apalagi kalau status yang hilang itu punya arti tersendiri dan pengen dibaca kapan-kapan lagi. Makanya sekarang aku lebih memilih menuliskannya di blog yang pengarsipannya jauh lebih baik.

Setelah dua bulan lalu menulis Cerpen Lucu: Kencan Kacau yang ternyata menjadi postingan paling populer di blog ini, kali ini aku mencoba membuat tulisan bergenre sama. Tapi ini bukan cerpen. Ini hanya cerita ringan-ringan saja. Happy Reading.

Ketika Zuck Linn Putus

Simbol Putus Cinta
Akhir-akhir ini mereka sudah tidak seperti Romeo dan Juliet lagi. Lebih seperti Tom dan Jerry. Bentar-bentar tengkar. Zuck yang semakin posesif. Dan Linn yang jarang mau mengalah. Zuck yang sibuk dengan keinginannya sendiri, dan Linn yang mulai capek dengan semua sikap Zuck.

Seperti malam minggu lalu. Di saat hati Linn yang sudah berbintang-bintang menanti dimalamingguin Zuck, seketika berubah menjadi kelabu ketika di detik-detik terakhir Zuck mengabarkan belum bisa datang. Dia mau nonton pertandingan terakhir tim kesayangannya Cordoba melawan Eibar di liga Spanyol musim ini. Linn yang jengkel banget, lari serampangan menuju kamarnya sambil ngomel-ngomel. Karena serampangan, tanpa sengaja pahanya menyenggol pojokan sofa. Brukk! Dia jatuh. Jengkelnya pun semakin berlipat ganda!

Di saat yang sama tapi di tempat berbeda, Zuck sedang asyik nonton bola. Begitu bola selesai, bukannya menghubungi Linn, dia malah lanjut nonton Jodha Akbar, terus sambung ke King Sulaiman. Akhirnya jam 12.15 Zuck baru berangkat ngapelin Linn. Tentu saja Linn tidak terima karena malam minggu sudah ditutup. Zuck pun pulang lagi tanpa rasa bersalah.

"Kenapa gak mau nemuin aku?" tanya Zuck via telepon sesampainya di rumah.

"Ini udah jam berapaaa?! Jengkelin banget sih!"

"Iya deh maaf."

"Saking jengkelnya aku sampai jatuh kesandung pojokan sofa tau gak!"

"Beneran jatuh? Jangan-jangan cuma diving."

"Beneran!!!"

"Yaudah jangan marah-marah dong. Masih mending kan jatuh kesandung pojokan sofa, daripada jatuh cinta kepada orang yang salah?"

"Iya! Dan orang yang salah itu kamu!"

"Cowok memang selalu salah ya?"

"Udah tau peraturannya gitu gak mau disalahin."

"Yaudah ngomongin yang lain aja."

"Emoh. Aku maunya ngomongin kita."

"Kamu udah makan?"

"Udah."

"Kok udah sih? Trus siapa yang ngingetin kamu makan? Siapa? Muntahin lagi!"

"Kamu lewat pesan facebook."

"Seharian ini aku gak sempat facebookan."

"Aku kan tau password fb kamu, Mas. Jadi aku masuk, aku nulis pesan trus kirim ke akunku sendiri 'jangan lupa makan ya, Sayang'"

"Hehe..."

"Makan tuh bola! Makan tuh drama India! Udah kayak emak-emak aja nontonnya drama."

"Sayang! Kamu boleh ngelarang aku nonton bola, ngelarang aku make narkoba, tapi jangan pernah sekali-kali ngelarang aku nonton putri Hurrem. Camkan itu!"

Linn diam saja males ngomong dan berdebat lagi.

"Yaudah deh besok sore kita jalan-jalan. Aku traktir kamu apa aja yang kamu mau," bujuk Zuck.

"Beneran, Mas?"

"Beneran, Sayang. Mau minta apa aja aku beliin, yang penting jangan lebih dari duapuluh ribu."

"Asyik. Awas kalo bohong!"

*****

Minggu sore Zuck dan Linn motor-motoran keliling komplek naik matic-nya Linn sampai capek. Kemudian mampir di rumah makan Padang 'Rindang Raya'.

"Kita pesen makan sepiring berdua aja ya, Sayang."

"Iya, Mas. Biar romantis."

"Romantis apaan. Ini nih untuk pengiritan, Sayang," jawab Zuck jujur dan apa adanya. Sepertinya pelit memang sudah menjadi gaya hidupnya sehari-hari.

Linn merengut ringan mendengar jawaban Zuck. "Males ah kalau tujuannya buat pengiritan. Kirain biar romantis."

"Yaudah, mau makan apa, Sayang?"

"Nasi sama lauknya ayam apa tuh, Mas, yang bentuknya kayak kentakipretciken," kata Linn.

"Oh itu ayam pop, Sayang."

"Iya ayam pop. Kalau Mas sama ayam rock aja ya, hihi," canda Linn. Garing.

"Enggak ah. Aku maunya ayam yang lain."

"Ayam apa?"

"Ayam nothing without you."

Wajah Linn merona dan tersenyum malu-malu kambing mendengar gombalan Zuck yang tak seberapa itu. Setelah senyum malu-malu kambingnya selesai, ia mulai menyantap nasi dan ayam pop pesanannya dengan lahab. Zuck hanya ngeliatin saja kekasihnya makan sambil nungguin sisa.

"Gimana ayam pop-nya, Sayang?" tanya Zuck.

"Umm.. Nikmat, Mas. Nikmat bangeeet..." jelas Linn merem melek saking enaknya.

Zuck melotot. "Segitunya?! Muntahin lagi! Muntahin lagiii..."

"Apaan lagi sih, Mas?"

"Aku gak suka kamu dapat kenikmatan selain dari aku. Muntahin lagi!" hardik Zuck yang mulai terbakar cemburu sama ayam.

Linn gemes banget menghadapi sikap Zuck yang tingkat posesifnya sudah tidak manusiawi ini. Pengen rasanya jejelin tulang ayam ke cangkemnya. "Mas ini maunya apa sih? Dikit-dikit salah. Dikit-dikit salah! Salah kok dikit-dikit."

"Gak lucu! Pokoknya aku ga seneng kamu mendapat kenikmatan selain dari aku!" kata Zuck kemudian berdiri dan melangkah kasar keluar rumah makan meninggalkan Linn.

Linn yang sudah kehilangan selera makannya, kemudian buru-buru menyusul Zuck.

"Maunya apa sih sebenarnya?" desak Linn sesampainya di parkiran.

"Kalau begini terus aku gak sanggup," dengus Zuck.

"Begini gimana?"

"Kamu selalu berbuat semaumu sendiri!"

"Kebalik! Justru kamu yang akhir-akhir ini berbuat seenak udelmu!" Linn juga mulai emosi.

"Sok tau! Kayak pernah jilat udelku aja!"

"Hueek!"

"Yaudah kita pisahan aja. Kita putus!"
 
Linn terhenyak menatap Zuck tak percaya. Lalu menggeleng kuat-kuat.  "Nggak mau, Mas. Nggak mau!"

"Kenapa? Kamu gak sanggup berpisah denganku kan? Hahaha. Makanya berubah dong!"

"Aku gak rela kamu mutusin aku. Biar aku aja yang akan mutusin kamu. Kita putus! Puu... Tus!" ketus Linn sambil memperagakan gerakan telapak tangan menyembelih leher sendiri.

"Eh, gak bisa gitu. Udah duluan aku yang mutusin kamu!"

"Pokoknya aku yang mutusin kamu! Aku!"

"Terserah! Pulang sana sendiri jalan kaki nggak usah bonceng aku!" maki Zuck sambil menaiki motornya.

"Eh setan, itu motor gue! Sini kunci motornya sini!"

"Oia lupa..."

Lalu Linn menaiki motor matic-nya yang tadi sempat diduduki Zuck. "Sana kamu pulang numpang truk batubara. Gak usah bareng gue. Kita udah putus!"

"Ingat ya, Linn. Suatu saat lu bakal nyesel udah mutusin gue. Sampai kapanpun lu ga bakalan dapet cowok yang sepelit gue!"

"Opo yo tak pikir!"

"Ndasmu!"

"It's oke wae, Mas. Aku rapopo," Linn mulai menstater motor matic-nya.

"Baiklah, Linn. Selamat tinggal. Daa..." kata Zuck seraya melambaikan tangan.

"Dadaa..." bales Linn sambil melambaikan dada.

Setelah itu, Linn langsung mengegas motornya dengan kecepatan 300km/h meninggalkan sang mantan dengan perasaan remuk redam.

Baru 500 meter, ia menghentikan motornya di pinggir jalan, kemudian duduk nangis di trotoar. Ia masih tidak percaya kedekatannya dengan Zuck yang sudah berlangsung sejak kecil, harus berakhir gara-gara sepotong ayam pop. "Zuck sialan. Tega bener mutusin gue.. Huhuuu...." ratapnya sesenggukan.

Beberapa saat kemudian, seorang pengendara motor berhenti di dekat Linn. "Mbak kenapa nangis?"

Linn buru-buru mengusap air matanya. Kemudian menggeleng lemah. "Saya nggak nangis kok, Bang. Ini lagi latihan pipis lewat mata."

Pengendara motor itu pengen ngakak tapi nggak tega. "Saya cuma mau nanya, Mbak. Rumah makan Rindang Raya di mana ya? Katanya sih di sekitar sini?"

"Oh itu di sana, Bang. Udah deket kok. Abang jalan terus aja lurus. Nah nanti kira-kira 500 meter, ada cowok berdiri di sana sok ganteng dan nyebelin namanya Zuck, tabrak aja, Bang!"

******
Sejak putus dengan Linn tiga hari silam, hidup Zuck sekarang menjadi tenang dan sepi. Tapi ternyata ia tidak bahagia dengan kondisi itu. Zuck mulai menyadari, meskipun Linn itu cantik, tapi dia baik, udah gitu lucu. Ia butuh Linn. Siang malam terasa hampa tanpa adanya Linn.

Seperti malam ini, padahal jarum jam sudah berada di angka dua, tapi kangennya tidak bisa diajak kompromi dengan waktu. Hingga membuatnya tidak bisa tidur. Akhirnya ia singkirkan gengsinya, meraih handphone menghubungi Linn. Beruntung Linn belum tidur dan ganti nomor.

"Halo, Linn," sapa Zuck.

"Halo juga," jawab Linn lirih.

"Apa kabar? Maaf baru sempat nelpon. Oia, tiga hari yang lalu kamu udah makan?"

"Embuh," bisik Linn. "Kenapa nelponnya malam-malam sih?"

"Emm... Nungguin gratisan, hehe."

"Huh. Dasar!" sungut Linn. "Kalo nelpon jam segini tuh ganggu orang-orang yang udah tidur tau."

"Yaudah kalo gitu kita ngobrolnya dalam hati aja gimana?"

"Baiklah..." jawab Linn dalam hati.

"Aku kangen kamu banget," kata Zuck dalam hati.

"Kan emang disarankan begitu, kalau tidur sebaiknya tidak usah pake beha demi kesehatan," jawab Linn masih dalam hati.

"Udah ah, jangan ngobrol dalam hati lagi, gak nyambung," kata Zuck.

"Haha..." Linn tertawa.

"Aku kangen tawa kamu seperti ini, Sayang."

Linn tertegun. Terdiam beberapa saat membayangkan wajah Zuck yang nyebelin yang sudah sekian hari tak dilihatnya. "Kenapa manggil aku 'Sayang'? Kita kan udah putus?"

"Eh, eh, iya. Duh... Sorry, sorry. Udah terbiasa sih," suara Zuck terdengar gelagapan salah tingkah.

"Emang kamu udah bisa move on?"

Linn terdiam lagi. "Gak bisa, Mas."

"Kita balikan?" tawar Zuck langsung.

"Enggak mau."

"Ciee udah dapat pengganti cowok yang lebih pelit dari aku ya? Selamat deh."

"Enggak! Aku belum bisa move on. Sampai kapanpun kamu tak akan terganti, Mas. Diganti dengan uang juga gak bisa..."

"Trus kenapa gak mau balikan?"

"Buang L-nya."

"Emm... Berarti baikan?"

"Iyah."

"Hehe. Baiklah."

"Mas jangan tinggalin aku lagi. Aku butuh kamu, Mas. Setiap hari Mas harus nyemangatin aku buat move on. Aku gak bisa move on sendirian," Linn mulai terisak.

"Iya, Linn, iya. Aku juga gitu. Kita barengan lagi ya. Kita move on sama-sama."

"Janji ya, Mas?"

"Iya, Sayang."

Linn tersenyum. Zuck juga.

*****

Baca juga: Malam Minggu Hujan